juga terdengar berbeda.
Din memandang shaman tua yang bukan lagi bibinya.
“Shaman, ayahku sakit parah. Aku perlu tahu ayah sakit apa dan apa yang bisa kami lakukan untuk menyembuhkannya.”
“Ya, ayahmu, yang kau panggil ‘Paw’, kan.”
Orang itu, bibinya terdengar seperti pria pada saat itu, meletakkan tangannya di tiap bungkusan yang ditinggalkan Heng pada hari sebelumnya lalu menutup mata bibinya. Din melongo sesaat lamanya lalu keheningan yang begitu dalam muncul, hingga dia pun akan mampu mendengar semut berjalan di atas tanah yang keras.
Din sudah pernah menjalani selusin sesi seperti itu sebelumnya, meski tidak pernah untuk sesuatu yang seserius ini. Dia pernah bertanya tentang keluhanannya terkait perut sekali, dan tentang menstruasinya beberapa tahun yang lalu. Terakhir kali, dia bertanya apakah dia akan segera menikah. Dia bukan takut dengan ritualnya, melainkan hasilnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa dirinya hanya bisa duduk, menunggu, dan mengamati, karena menurutnya itu menarik.
Shaman itu perlahan membuka bungkusan pertama yang berisi batu, memeriksanya dengan cermat, mengendusnya, lalu meletakkannya kembali di atas daun pisang pembungkusnya. Kemudian mengambil bungkusan kedua yang mengandung lumut, mengendusnya, lalu menggantinya di atas tikar di depannya.
Shaman itu memandang Din dengan serius. Setelah beberapa menit, dia berkata,
“Orang yang kau khawatirkan sedang sakit parah. Sebenarnya, dia sangat dekat dengan kematian ketika dia memberikan sampel ini, tetapi dia belum mati… Beberapa organ dalamnya, terutama yang berhubungan dengan pembersihan darah, kondisinya sangat buruk… Yang kalian sebut ginjal di Thailand, kukira, sudah sama sekali tidak bekerja, dan levernya rusak dengan cepat.
“Artinya, kematiannya sudah dekat. Tidak ada obat medis yang diketahui.”
Shaman itu bergidik lagi dan kembali menjadi Bibi Da tua, yang berkedip beberapa kali. Dia menggeliat sedikit seolah-olah mengenakan gaun ketat tua lalu mengusap matanya.
“Tadi bukan kabar baik, kan Nak? Kau tahu, kan, pada saat aku dirasuki, aku tidak selalu bisa mendengar semuanya. Tapi aku mendengar sedikit dan aku bisa tahu dari wajahmu bahwa itu kabar buruk tentang ayahmu.”
“Roh tadi berkata bahwa Paw pasti akan segera mati, karena tidak ada obat medis untuk gagal ginjal dan hati …”
“Maaf, Din, kau tahu bibi sangat menyayangi ayahmu … Begini, bibi akan memberitahumu sesuatu, bibi sudah mempelajari beberapa trik sendiri selama bertahun-tahun, selain yang kumiliki. Mari kita lihat sekarang … Ya, batunya … coba lihat di mana ayahmu meludahinya? Tidak ada bekasnya! Artinya, tidak ada garam dalam ludah ayahmu, tidak ada garam, tidak ada mineral, tidak ada vitamin, tidak ada apa-apa, hanya air.
“Sekarang, lumutnya.” Bibi Da mengendusnya dari kejauhan kemudian mendekatkan lumut itu ke hidungnya.
“Sama! Cium ini!” Bibi Da menyodorkannya agar Din bisa mengendusnya, tetapi Din enggan mencium bau urin ayahnya.
“Ayo, itu tidak akan menggigitmu!” kata Bibi Da. Din melakukan apa yang disuruh.
“Tidak bau. Hanya bau lumut.”
“Tepat! Urin seorang pria berbau seperti kencing kucing jika dibungkus, tetapi urin ayahmu tidak. Jadi, tidak ada daging di dalamnya yang membusuk. Maka dari itu, darah Ayahmu juga hanya air.
“Kau tidak bisa hidup lama dengan air sebagai darahmu kan? Masuk akal, bukan? Darahmu mengambil semua kebaikan di seluruh tubuh, tapi ayahmu tidak punya, dan itulah sebabnya dia begitu lemah sepanjang waktu!
“Pulanglah sekarang, cari tahu apa kita sudah terlambat. Apabila ayahmu masih hidup, kembalilah ke sini untuk menjemputku dan bawa juga skutermu itu. Ayo pergi sekarang dan cepatlah!”
Din melesat keluar pintu lalu berlari pulang ke rumah.
Ketika Din pergi untuk memeriksa ayahnya, Bibi Da mempersiapkan diri untuk pergi, karena dia tahu di dalam hatinya bahwa Heng belum mati, belum sepenuhnya. Bibi Da memilih beberapa tumbuhan lalu memasukkannya ke dalam tas, memercikkan air ke wajahnya lalu mengikat rambutnya dengan kerudung agar tidak berantakan saat naik motor. Kemudian, dia keluar untuk menunggu keponakannya.
Din tiba beberapa menit kemudian dalam balutan awan debu.
“Cepatlah Bibi, Mum ingin bibi datang secepatnya, karena ayah akan segera meninggal.”
Bibi Da menaiki sadel dari samping skuter, duduk miring layaknya seorang wanita, lalu mereka lepas landas. Rambut panjang Din mencambuk berulang-ulang wajah tua Bibi Da yang keriput. Itu menyakitkan, Bibi Da berusaha menghindarinya. Begitu mereka tiba, Bibi Da melompat turun. Dia cukup gesit untuk ukuran orang yang sangat tua, lalu dia diantar ke dalam rumah.
“Terima kasih sudah datang secepatnya, Bibi Da, Heng ada di atas, di kamar tidur.”
“Ya, tentu dia berada di tempat tidur, tidak mungkin dia bersama kambing kesayangannya!” Dia menyingkap kelambu lalu duduk di atas dipan kayu di sebelah kepala Heng. Pertama, Bibi Da mengamati kulit Heng, lalu rambut dan bibirnya, dan terakhir membuka mata Heng dan melihat ke dalamnya.
“Mmm, aku paham… tunjukkan padaku kaki Heng!” Wan bergegas membuka selimut di kaki suaminya, lalu Bibi Da membungkuk untuk meremasnya dan melihat lebih dekat.
“Mmm, aku belum pernah melihat kasus kekurangan darah dalam daging yang begitu serius seperti ini sebelumnya. Apa kau mengizinkanku untuk memberi tahu anak-anak apa yang harus dilakukan untuk sementara waktu?” tanya Bibi Da langsung diikuti anggukan Nyonya Lee.
“Bagus! Aku akan segera kembali. Topang kepala suamimu dengan beberapa bantal. Aku akan menyuruh Din membantumu, sementara Den akan membantuku di luar.”
“Ya, Bibi, tentu saja. Apapun kulakukan untuk menolong Heng tersayang.”
“Baiklah, mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan, oke?” dan setelah itu, Bibi Da berdiri lalu turun ke lantai dasar.
“Din, bantulah ibumu! Den, kau ikut denganku. Kita semua harus bertindak cepat dan tepat.”
Din bergegas pergi sedangkan Den bertanya apa yang bisa dia lakukan untuk membantu.
“Tolong ambilkan aku ayam jantan terkuat yang kau miliki! Cepat, Nak!”
Ketika Den kembali dengan unggas di bawah ketiaknya, Bibi Da mengambil alih.
“Sekarang tambatkan dengan erat si Billy, kambing terkuatmu, ke tiang agar tidak bisa bergerak satu inci pun - duduk ataupun berdiri sama saja.”
Sementara Den bergegas pergi, Bibi Da berjongkok di tepi meja, menggorok tenggorokan ayam jantan, mengalirkan darahnya ke dalam mangkuk, lalu melemparkan tubuh unggas tak bernyawa itu ke keranjang sayuran di atas balai-balai, kemudian bergegas naik ke atas.
“Din.” panggilnya saat datang.
“Apa kau punya susu kambing, atau susu apa pun di lemari es? Jika tidak ada, ambil kendi dan perah susu segar, tolong ya, Nak.”
Tanpa perlu disuruh bergegas, Din sudah melesat pergi.
“Oke, Wan, apa dia sudah bangun?”
“Tidak juga, Bibi, setengah-setengah.”
Baiklah, tutup hidungnya dan aku akan menuangkan darah ini ke tenggorokannya. Dia meremas rahang Heng yang tertutup menggunakan ibu jari dan jari tengahnya agar terbuka, mendongakkan kepalanya, lalu menuangkan sedikit darah ayam ke tenggorokannya. Bibi Da menduga dari cara Heng mengoceh seperti suara mobil berbahan bakar solar bahwa separuh darah itu sedang mengalir menuju arah yang benar.
Heng membuka matanya sedikit.
“Apa yang kalian berdua, para penyihir tua, lakukan padaku?” bisiknya.
“Itu mengerikan!”
“Ah, sepertinya begitu,” kata Bibi Da, sambil menuangkan darah lebih banyak lagi, “…Terlalu kental, ini harus dihentikan.”
Ketika Din tiba, dia berkata,
“Ini